Selasa, 15 Juni 2010

Laporan KHL kel.3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nuansa alam laut yang khas dengan udara sejuk yang selalu menyapa, Keindahan pohon-pohon pantai yang terus melambai anggun dan panorama yang unik, mempesona dan melenakan mata, selalu melekat pada sebagian besar kawasan pantai berpasir di Indonesia. Sebagai kawasan yang di kenal dengan daerah tropis, Indonesia memiliki sangat banyak potensi keindahan alam pantai yang menakjubkan. Keindahan tersebut merupakan paduan dari hamparan biru laut dan batas pulau yang memanjang yang di kenal dengan kawasan pesisir pantai.
Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Karena hempasan gelombang dan hembusan angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat. Pantai berpasir merupakan tipe pantai yang memiliki substrat yang dominasi berupa pasir. Setelah gundukan pasir itu biasanya terdapat hutan yang dinamakan hutan pantai. Tumbahan pada hutan pantai cukup beragam. Tumbuhan tersebut bergerombol membentuk unit-unit tertentu sesuai dengan habitatnya. Suatu unit vegetasi yang terbentuk karena habitatnya disebut formasi. Setiap formasi diberi nama sesuai dengan spesies tumbuhan yang paling dominan.
Berdasarkan susunan vegetasinya, ekosistem hutan pantai dapat dibedakan menjadi 2, yaitu formasi Pres-Caprae dan formasi Baringtonia.
1.Formasi Pres-Caprae
Pada formasi ini, tumbuhan yang dominan adalah Ipomeea pres-caprae, tumbuhan lainnya adalah Vigna, Spinifex littoreus (rumput angin), Canavalia maritime, Euphorbia atoto, Pandanus tectorius (pandan), Crinum asiaticum (bakung), Scaevola frutescens (babakoan).
2.Formasi Baringtonia
Vegetasi dominan adalah pohon Baringtonia (butun), tumbuhan lainnya adalah Callophylum inophylum (nyamplung), Erythrina, Hernandia, Hibiscus tiliaceus (waru laut), Terminalia catapa (ketapang).
Di daerah pasang surut sendiri dapat terbentak hutan, yaitu hutan bakau dan mangrove. Hutan bakau dan mangrove biasanya sangat sukar ditempuh manusia karena banyaknya akar dan dasarnya terdiri atas lumpur. Secara umum kita dapat membagi kawasan pantai berpasir sebagai kawasan pasang surut karena sangat dipengaruhi oleh pola naik dan surutnya air laut kedalam tiga zona yang merupakan pemilahan dari pola pergerakan pasang surut dan hempasan riak gelombang yang dinamis tersebut. Zona pertama merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut (supratidal), Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).
1.2 Tujuan
Untuk mengidentifikasi biota-biota yang hidup pada ekosistem pantai berpasir.
Untuk mengetahui hubungan/interaksi dan keterkaitan antara biota yang ditemukan dengan ekosistem pantai berpasir.
Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman dan dominasi suatu biota pada ekosistem pantai berpasir.
3.Manfaat
Para praktikum dapat mengetahui bermacam-macam keanekaragaman suatu biota yang hidup dilaut yang beranekaragam dan dapat mengetahui keberadaan organisme yang berada di ekosistem pantai berpasir.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan laut. Panjang garis pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara. Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar 81.000 km.
Hutan Mangrove
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran tadi --yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Ciri-ciri :
1. Kadar garam air dan tanah tinggi.
2. Kadar O2 dalam air dan tanah rendah.
3. Saat air pasang, lingkungan banjir, saat air surut lingkungan becek dan berlumpur.
Luas dan Penyebaran.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
Lingkungan fisik dan zonasi
Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
1. Jenis tanah.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2. Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
3. Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering. Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrim di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis. Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai. Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas. Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun. Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun

Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya. Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh. Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul. Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya. Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Peran dan manfaat hutan mangrove :
> pelindung alami yang paling kuat dan praktis untuk menahan erosi pantai.
> menyediakan berbagai hasil kehutanan seperti kayu bakar, alkohol, gula, bahan penyamak kulit, bahan atap, bahan perahu, dll.
> mempunyai potensi wisata
> sebagai tempat hidup dan berkembang biak ikan, udang, burung, monyet, buaya dan satwa liar lainnya yang diantaranya endemik.
Jika hutan mangrove hilang :
+ abrasi pantai
+ dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan
+ dapat mengakibatkan banjir
+ perikanan laut menurun
+ sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang
TERUMBU KARANG
Terumbu Karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang merupakan kumpulan fauna laut yang berkumpul menjadi satu membentuk terumbu. Struktur tubuh karang banyak terdiri atas kalsium dan karbon. Hewan ini hidup dengan memakan berbagai mikro organisme yang hidup melayang di kolom perairan laut. Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998). Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang Dunia (Cesar 1997) dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Menurut Cesar (1997) estimasi jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat dari terumbu karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah pemanfaatan sumber daya ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung di dalamnya. Sedangkan yang termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.
Indo-Pasifik
Regional Indo-Pasifik terbentang mulai dari Indonesia sampai ke Polinesia dan Australia lalu ke bagian barat ialah Samudera Pasifik sampai Afrika Timur. Regional ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska. Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi terumbu karang atau yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan.
Terumbu Reef
Endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Konstruksi batu kapur biogenis yang menjadi struktur dasar suatu ekosistem pesisir. Dalam dunia navigasi laut, terumbu adalah punggungan laut yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di dekat permukaan air.
Karang Coral
Disebut juga karang batu (stony coral), yaitu hewan dari Ordo Scleractinia, yang mampu mensekresi CaCO3. Hewan karang tunggal umumnya disebut polip.
Karang terumbu
Pembangun utama struktur terumbu, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik (hermatypic coral) atau karang lunak, berbeda dengan batu karang (rock), yang merupakan benda mati. Terumbu karang merupakan ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis jenis moluska, krustasea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera, dan tunikata serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis nekton
Jenis-jenis terumbu karang :
1.Terumbu karang tepi (fringing reefs)
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).

2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.5 2 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Batuan Tengah (Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).
3. Terumbu karang cincin (atolls)
Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh: Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua)
4. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)
Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh)
Zonasi terumbu karang
Windward reef (terumbu yang menghadap angin) Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur. Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal. Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin) Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar.
PADANG LAMUN
Padang lamun memang belum banyak dikenal orang. Orang mungkin lebih familiar mendengar terumbu karang atau ekosistem mangrove dari pada padang lamun. Padahal ekosistem padang lamun sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam ekosistem perairan laut dangkal di Kepulauan Seribu.
Lamun sendiri adalah sejenis tumbuhan yaitu tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup tergenang di dalam air laut. Tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 3 meter dilautan tropis hingga sub tropis. Lamun bisa tumbuh pada daerah yang sangat luas, di pasir kasar/ puing-puing karang atau lumpur halus dasar laut. Lamun juga membentuk padang yang padat dan produktif hingga disebut sebagai padang lamun. Di Kepulauan Seribu, berdasarkan temuan pihak TNKpS, jenis lamun yang ditemukan di kawasan ini terdiri dari enam jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium. Padang lamun biasa terdapat pada daerah teratas pasang surut, dibatasi oleh kondisi yang terbuka terhadap kekeringan. Sewaktu surut, biasanya padang lamun tidak sampai mengalami kekeringan karena masih digenangi oleh air laut walaupun terlihat dangkal. Pada waktu pasang, air menutup padang lamun, membentuk daerah yang terendam air pasang.
Fungsi padang lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang. Sebagai ekosistem perairan laut dangkal ini sangat potensial sebagai sumber makanan biota kecil dan biota tertentu seperti dugong, biota omnivora serta biota pemakan hijauan. Keberadaan padang lamun di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, adalah membantu menstabilkan perairan dan memantapkan substrat dasar. Daun lamun yang lebat akan memperlambat gerakan air akibat arus dan ombak sehingga perairan menjadi tenang. Fungsi lainnya adalah rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan mengikat sedimen sehingga dapat menguatakan dan menstabilkan dasar permukaan. Padang lamun bisa dikatakan mencegah terjadinya erosi. Di padang lamun, juga tumbuh berbagai jenis rumput laut, yang terdiri dari 18 jenis yaitu 9 dari jenis alge hijau (chlorophyta), 3 jenis adri algae coklat (phaeophyta) dan 6 jenis algae merah ( Rhodophyta). Keberadan rumput laut ini tentukan akan memperkaya padang lamun sehingga bisa membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Walaupun lamun belum banyak dikenal, keberadaannya dinyakini sebagai satu kesatuan system dalam fungsi ekologis.







BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Materi
Mengidentifikasi ekosistem pantai berpasir di Ujung Piring, Jepara.
Mengidentifikasi Jenis Biota Yang Terdapat Pada Ekosistem Pantai berpasir di Ujung Piring, Jepara.


3.2 Metode
3.2.1 Alat dan Bahan

Transek kuadran 1x1m
Kamera digital
Raffia 100 m
Masker snorkel
Gayung
Plastik
Sabak/alat pencatat
Alat tulis
Skin Dive
Botol Sampel

3.3 Langkah Kerja
Mengukur dan mencatat parameter kualitas air dengan DOmeter ,pHmeter, thermometer, dan refraktometer
Pasang raffia sepanjang 100m yang telah ditandai setiap 1 m tegak lurus garis pantai
Catat panjangnya daerah pantai berpasir
Pasang transek kuadran pada titik-titik stasiun yang telah ditentukan yaitu pada titik yang dengan pantai, titik pertengahan dan titik yang terjauh dari pantai
Amati jenis biota yang terlihat pada tiap-tiap subtransek
Ambil substat dengan kedalaman 10cm pada tiap-tiap subtransek
Ayak substrat tersebut dengan air untuk mendapatkan biota yang hidup di dalam pasir
Hitung jumlah biota pada setiap subtransek
Gambarlah setiap jenis biota yang ditemukan
Hitung indeks keanekaragaman dengan rumus:
H’= -∑(ni/N)ln (ni/N)

Dimana: H’= Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
N = Jumlah total individu
ni = Jumlah individu tiap spesies ke-i
II’= Indeks keanekaragaman rendah
1≤H’≤3 = Indeks Keanekaragaman sedang
H’ > 3 = Indeks Keanekaragaman tinggi
Hitung Indeks dominasi dengan rumus:
C = ∑ (ni/N)²
Dimana: C= Indeks dominasi
n=Jumlah individu jenis ke-1
N= jumlah seluruh individu
C< 0,5 : Dominansi rendah
0,5≤C≤1 : Dominansi sedang
C> 1 : Dominansi tinggi
Lakukan hal yang sama untuk bagian transek yang sejajar garis pantai
Catat lebarnya substrat berpasir






BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
Sampel stasiun I ( Percobaan I )
a)Pohon Mangrove ( Aegiceras. sp )

b)Monodonta monodsont
Turbinate monodont

Sampel stasiun I ( Percobaan II )
a)Strombus vittatus
Vittate conch


Sampel stasiun I ( Percobaan III )
a)Pisania striata ( Formerly Pisania maculosa )

b)Teripang ( Holothurians )

Sampel stasiun II ( Percobaan I )
a)Kepiting (Reef crab, Etisus bifrontalis)
Xanthidae




Sampel stasiun II ( Percobaan II )
a)Rissoa variabilis
Rissoidae

Sampel stasiun II ( Percobaan III )
a)Isopod (fish lice, family cymathoidae)

b)Bittium reticulatum
Cerithida



5.2 PEMBAHASAN
Sampel stasiun I ( Percobaan I )
a)Pohon Mangrove ( Aegiceras. sp )


Klasifikasi :

Divisi : Magnoliophyta
filum : Magnoliopsida
kelas : Rosales
Ordo : Caesalpiniaceae
Family : Adesmia
Genus : Adesmia aegiceras

UMUM
Bentuk
pohon/perdu, tinggi mencapai 3 m
Akar
tidak memiliki akar udara
Tipe Biji
kriptovivipari
DAUN
Susunan
tunggal, berseling
Bentuk
bulat telur sungsang sampai elips
Ujung
membundar sampai berlekuk
Ukuran
panjang 5 - 10 cm
Lainnya
daun memiliki kelenjar garam
BUNGA
Rangkaian
berbentuk payung, berada di ujung
Mahkota
5, putih
Kelopak
5 helai, hijau
Ukuran
diameter 0,4 - 0,5 cm , panjang 0,5 - 0,6 cm
Lainnya
tangkai bungga mencapai 0,5 cm, tangkai anak bunga 1 cm
BUAH
Ukuran
diameter 0,7 cm , panjang 4 - 5 cm
Warna
hijau hingga kemerahan saat masak
Permukaan
halus
Lainnya
buah berbentuk silinder (hipokotil), menggantung, membengkok tajam





LAIN-LAIN
Ciri Khusus
buah menggantung, daun lebih besar dari A. floridum
Spesies yang mirip
floridum, A. marina, A. lanata
Habitat
tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi


b)Monodonta monodsont
Turbinate monodont

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Archaeogastropoda
Family : Bopyroidea
Subfamily : Monodontinae
Genus : Monodonta (Lamarck, 1799).
Sampel stasiun I ( Percobaan II )
a)Strombus vittatus
Vittate conch

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Subklass : Prosobranchia
Class : Gastropoda
Superorder : Caenogastropoda
Order : Neotaenioglossa
Superfamily : Stromboidea
Family : Strombidae
Genus : Strombus (Lamarck, 1799).
Strombus adalah dalam keluarga Strombidae, juga disebut conchs benar, adalah grup Taksonomi medium untuk gastropoda laut yang besar. Strombus bernama oleh Carl Linnaeus tahun 1758. Ada sekitar 55 spesies hidup diakui. kerang Strombus memiliki bibir luar pembakaran dengan lekukan dekat ujung anterior disebut insisura stromboid di mana binatang dapat berjalan menonjol salah satu mata. Mereka memakan alga dan memiliki operkulum berbentuk cakar. Telur mereka yang terdapat dalam tabung agar-agar memutar. Strombus bergerak dengan gerakan melompat. Ciri-cirinya adalah hidup pada perairan dangkal daerah tropis dan subtropik.
Sampel stasiun I ( Percobaan III )
a)Pisania striata ( Formerly Pisania maculosa )

Klasifikasi
Kelas : Gastropoda
Sub kelas : Proso branchia
Ordo : Neogastropoda
Famili : Margellietae
Genus : Pisania
Morfologi
Pada dasarnya kelas gastropoda ini mempunyai bentuk pigmen yang sangat berbeda, yaitu dengan bentuk warna penampang cangkangnya seperti batik yang mempunyai dua sisi corak waena yaitu putih dan coklat, dan jenis gastropoda ini memiliki panjang antara 15-30 mm. Selain itu bentuk cangkangnya yang agak begitu runcing dan hampir mirip seperti bekicot.
c)Teripang ( Holothurians )

Category : Mentimun laut
phylum : echinodermata
class : holothuroidea
order : aspidochirotida
family : stichopodidae
species : stichopus noctivagus
Ketimun laut echinodermata dari kelas Holothuroidea. Mereka adalah hewan laut dengan kulit kasar dan tubuh yang memanjang berisi, tunggal bercabang gonad. Ketimun laut ditemukan di dasar laut di seluruh dunia. Ada beberapa spesies teripang dan genera, banyak dari yang ditargetkan untuk konsumsi manusia. Produk panen berbagai disebut sebagai teripang “bêche de-mer atau balate. Seperti semua binatang berkulit lunak, teripang memiliki endoskeleton tepat di bawah kulit, struktur kaku yang biasanya dikurangi menjadi ossicles mikroskopis terisolasi (atau sclerietes) bergabung dengan jaringan ikat. Ini kadang-kadang dapat diperbesar untuk pelat datar, membentuk sebuah baju besi. Dalam spesies pelagis seperti Pelagothuria natatrix (Order Elasipodida, keluarga Pelagothuriidae), kerangka dan sebuah cincin mengkilat tidak hadir ketimun Laut berkomunikasi satu sama lain dengan mengirimkan sinyal hormon di air. Sebuah fitur yang luar biasa dari hewan-hewan ini adalah kolagen menangkap bahwa bentuk tubuh mereka dinding. Hal ini dapat melonggarkan dan diperketat di akan, dan jika hewan itu ingin menekan melalui celah kecil, pada dasarnya dapat mencairkan tubuhnya dan tuangkan ke dalam ruangan. Untuk menjaga diri aman dalam celah-celah dan retak, timun laut kait semua serat kolagen yang membuat perusahaan lagi tubuhnya.
Sampel stasiun II ( Percobaan I )
a)Kepiting (Reef crab, Etisus bifrontalis)
Xanthidae

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda 
Subphylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Infraorder : Brachyura
Family : Xanthoidae
Genus : Xanthidae
Xanthidae adalah keluarga dari kepiting kepiting yang dikenal sebagai lumpur, kerikil atau kepiting kepiting reruntuhan. Mereka sering cerah berwarna dan beracun, mengandung racun yang tidak hancur karena memasak dan yang tidak ada penawar. Racun serupa dengan tetrodotoxin diproduksi oleh ikan puffer, dan dapat diproduksi oleh bakteri yang hidup dalam simbiosis dengan kepiting.
Kepiting adalah binatang anggota krustasea berkaki sepuluh dari infraordo Brachyura, yang dikenal mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya (abdomen) sama sekali tersembunyi di bawah dada (thorax). Tubuh kepiting dilindungi oleh kerangka luar yang sangat keras, tersusun dari kitin, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Ketam dan rajungan juga termasuk dalam infraordo Brachyura. Kepiting terdapat di semua samudra dunia. Ada pula kepiting air tawar dan darat, khususnya di wilayah-wilayah tropis. Kepiting beraneka ragam ukurannya, dari ketam kacang, yang lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki hingga 4.
Sampel stasiun II ( Percobaan II )
a)Rissoa variabilis
Rissoidae

Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Ordo : Caenogastropoda
Superfamily : Rissooidea
Family : Rissoidae
Genus : Rissoa (Gray, 1847)
Rissoidae adalah keluarga kecil dan laut menit sangat siput dengan operkulum, laut gastropod moluska di clade Littorinimorpha.
Sampel stasiun II ( Percobaan III )
a)Isopod (fish lice, family cymathoidae)

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Subclass : Eumalacostraca 
Superorder : Peracarida
Genus : Isopoda
Isopods kurangnya seorang jelas karapas, yang dikurangi hingga hanya sefalika perisai "" hanya menutupi kepala. Gas pertukaran adalah dilakukan oleh seperti khusus insang- pleopods ke arah belakang tubuh hewan. Dalam isopods terestrial, ini sering diadaptasi menjadi struktur yang menyerupai paru-paru, dan ini "paru-paru" dapat segera terlihat di bawah sebuah woodlouse. Mata, saat sekarang, selalu tetap, tidak pernah pada tangkai. Mereka berbagi dengan Tanaidacea fusi yang terakhir abdomen segmen tubuh dengan telson, membentuk pleotelson dan segmen tubuh pertama toraks yang menyatu di kepala. Para pereiopods adalah uniramous, tetapi pleopods adalah biramous.
Ekologi, sekitar 4.500 spesies isopods ditemukan di lingkungan laut, sebagian besar di dasar laut di sekitar 500 spesies ditemukan di air tawar, dan 5.000 spesies lain adalah woodlice dalam subordo Oniscidea, yang demikian oleh kelompok yang paling sukses jauh dari terestrial krustasea. Di laut dalam, anggota dari subordo Asellota mendominasi, dengan mengesampingkan hampir semua isopods lainnya, telah mengalami besar radiasi adaptif dalam lingkungan tersebut. Sejumlah kelompok isopod telah berevolusi menjadi parasit gaya hidup. Subordo Cymothoida secara eksklusif parasit, sedangkan polifiletik subordo Flabellifera sebagian parasit. exigua Cymothoa, misalnya, adalah parasit dari ikan kakap naik melihat guttatus Lutjanus di Teluk California, melainkan makan ikan lidah, dan memakan waktu yang tempat, dalam contoh hanya dikenal dari parasit fungsional menggantikan struktur host.
b)Cerithidea sp

Cerithidea scalariformis (Say, 1825)
Klasifikasi :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Mollusca Kerang-kerangan
Class
: Gastropoda
Superfamily
: Cerithioidea
Family
: Potamididae Potamididae
Genus:

: Cerithidea

Scalariformis Cerithidea adalah genus terbesar di Potamidinae, salah satu dari dua subfamilies dari Potaididae lainnya yang subfamili adalah Batillariinae. The subfamilies dibedakan oleh perbedaan dalam radulae mereka, seperti struktur gigi-gesekan yang digunakan untuk makanan. Pada Potamidinae, yang radula kurang cusps pada pelat basal bawah gigi rachidian. Sebuah analisis cladistic dari genus ini, berdasarkan perbedaan morfologi spesies dalam kelompok ini disajikan oleh Houbrick (1984).


Habitat dan Distribusi
Kejadian Daerah : Scalariformis Cerithidea terjadi di Georgia, kedua pantai Florida, dan Kubadistribusi yang terbatas mungkin karena kurangnya plankton tahap larva (Houbrick 1984).
Distribusi: Walaupun mungkin terjadi laguna yang luas, populasi scalariformis Cerithidea dipelajari di Big Kelaparan Cove, di seberang Sungai India dari Link Port (Houbrick 1984).

Epifauna dan Infauna
Fauna, dari bahasa Latin, artinya adalah khazanah segala macam jenis hewan yang hidup di bagian tertentu atau periode tertentu. Istilah yang sejenis untuk tumbuhan adalah flora. Flora, fauna dan bentuk kehidupan lain seperti fungi dalam suatu kesatuan disebut biota. Penulisan flora dan fauna biasanya ditulis di depan nama geografis, misalnya fauna Jawa, fauna Asia atau fauna Australia.
Epifauna
Epifauna adalah hewan yang hidup di atas permukaan sedimen atau tanah.
Infauna
Infauna adalah hewan akuatik yang hidup di dasar substratum, bukan di permukaannya. Biasanya, hewan infauna semakin jarang ditemukan seiring bertambahnya kedalam air dan jaraknya dari garis pantai.
Microfauna
Microfauna adalah hewan mikroskopik atau sangat kecil (biasanya termasuk hewan-hewan protozoa dan hewan yang sangat kecil, seperti rotifera).
Makrofauna
Macrofauna adalah organisme darat atau laut yang panjang tubuhnya lebih dari atau sama dengan satu milimeter.
Megafauna
Megafauna adalah hewan besar pada tempat dan zaman tertentu. Misalnya, megafauna Australia.
Meiofauna
Meiofauna adalah hewan invertebrata perairan berukuran kecil yang hidup di air tawar dan air laut (asin). Istilah Meiofauna diartikan sebagai kumpulan organisme yang lebih besar dari mikrofauna, tetapi lebih kecil dari makrofauna. Organisme ini bisa melewati saringan berukuran 1 mm, tapi tidak dapat melewati saringan berukuran 45 μm (ukuran dapat berbeda-beda berdasarkan researcher).
Mesofauna
Mesofauna adalah hewan invertebrata daratan berukuran besar, seperti arthropoda, cacing tanah, and nematoda.



Zonasi pantai














4.1.Indek Keanekaragaman dan Indek Dominansi
Keterangan : Full (F)=7-10 spesies
1/2 =5-6 spesies
1/4 =3-4 spesies
1/8 =2 spesies
1/16 =1 spesies
Data Pada Setiap Pengamatan :

Biota

ni
(n ke-i)
Kapasitas pada transek
jumlah /spesies


P1
PII
PIII
PI
PII
PIII
Mangrove
n-1
1/4
-
-


3
-
-
Teripang
n-2
-

-
1/16


-
-
1
DC
n-3
F
F


2F

10
10
14
Gastropoda
n-4
-
-
-
-
-
-
polychaeta
n-5
-
-
-
-
-
-
Total Keseluruhan(N)
13
10
15

Indeks keanekaragaman


Klasifikasi :
H’ < 1 : Indeks Keanekaragaman rendah
1 ≤ H’ ≤ 3 : Indeks Keanekaragaman sedang
H’ >3 : Indeks keanekaragaman tinggi

Pengamatan 1
H’ = (3/13) ln(3/13) + (10/13) ln(10/13)

= 0.33 + 0.2
= 0.53
Hasil H’ = 0.53
H’ < 1 : indeks keanekaragaman rendah
Pengamatan II
H’ = (10/10) ln(10/10)

= 0
Hasil H’ = 0
H’ <1 : Indeks keanekaragaman rendah

Pengamatan III
H’ = (1/14) ln(1/14) + (13/14) ln(13/14)
= 0.18 + 0.06
= 0.24
Hasil H’= 0.24
H’<1 : Indeks keanekaragaman rendah

Indeks dominansi

Klasifikasi :
C < 0,5 :Dominansi rendah
0,5 ≤ C ≤ 1 :Dominansi sedang
C > 1 :Dominansi tinggi
Pengamatan I
C = (3/13)² + (10/13)²
= 0.05 + 0.59
= 0.64
Hasil C = 0.64
0.5 ≤ C ≤ 1 Dominansi sedang

Pengamatan II
C = (10/10)²
Hasil C = 1
= 1
0.5 ≤ C ≤ 1 Dominansi sedang
Pengamatan III
C = ( 1/14)² + (13/14)²
= 0.0005 + 0.86
= 0.91
Hasil C = 0.91
0.5 ≤ C ≤ 1 Dominansi sedang
Data Pada Setiap Pengamatan :

Biota

ni
(n ke-i)
Kapasitas pada transek
jumlah /spesies


P1
PII
PIII
PI
PII
PIII
Mangrove
n-1
-
-
-
-
-
-
Teripang
n-2
-



-
-
-
DC
n-3
2F
2F


-
16
16
-
Gastropoda
n-4
F
2F
1/8
11
14
2
polychaeta
n-5
-
-
-
-
-
-
Total Keseluruhan(N)
27
30
2

Indeks keanekaragaman


Klasifikasi :
H’ < 1 : Indeks Keanekaragaman rendah
1 ≤ H’ ≤ 3 : Indeks Keanekaragaman sedang
H’ >3 : Indeks keanekaragaman tinggi

Pengamatan 1
H’ = (16/27) ln(16/27) + (11/27) ln(11/27)

= 0.31 + 0.36
= 0.67
Hasil H’ = 0.67
H’ < 1 : indeks keanekaragaman rendah
Pengamatan II
H’ = (16/30) ln(16/30) + (14/30 ln(14/30)

= 0.33 + 0.35
= 0.68
Hasil H’ = 0.68
H’ <1 : Indeks keanekaragaman rendah

Pengamatan III
H’ = (2/2) ln(2/2)
= 0
= 0
Hasil H’= 0
H’<1 : Indeks keanekaragaman rendah

Indeks dominansi

Klasifikasi :
C < 0,5 :Dominansi rendah
0,5 ≤ C ≤ 1 :Dominansi sedang
C > 1 :Dominansi tinggi
Pengamatan I
C = (16/27)² + (11/27)²
= 0.35 + 0.16
= 0.51
Hasil C = 0.51
0.5 ≤ C ≤ 1 Dominansi sedang

Pengamatan II
C = (16/30)² + (14/30)²
Hasil C = 0.28 + 0.22
= 0.5
0.5 ≤ C ≤ 1 Dominansi sedang

Pengamatan III
C = ( 2/2)²
= 1
= 1
Hasil C = 1
0.5 ≤ C ≤ 1 Dominansi sedang

















BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
a) Dari hasil praktikum dapat disimpulkan keaneka ragaman di daerah pantai berpasir Ujung Piring memiliki tingkat keanekaragaman yang rendah dan tingkat dominasi yang sedang.
b) Hewan yang banyak ditemukan di daerah pantai berpasir ujung piring yaknik gastropoda dan karang mati.
5.2 Saran
a) Praktikum dilakukan dengan waktu yang lebih agar pelaksanaannya berjalan efektif.
b) Alat-alat laboratorium ditambah agar lebih menunjang dalam praktikum ini.










DAFTAR PUSTAKA

Amanto B.S. 1999. Kajian Wilayah Pengembangan Agroindustri Perikanan Rakyat di Daerah Maluku. Thesis. PPS IPB. Bogor Indonesia.
Beattie B.R. dan Taylor C.R., 1994. Ekonomi Produksi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 386 p.
Bengen D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. 62 p.
Budiharsono S., 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita. Jakarta. 159p.
Dahuri, Rokhmin; Rais J.; Ginting S.P. dan Sitepu M.J., 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. 328 p.
Debertin D. L. 1986. Agricultural Production Economics. University of Kentucky. Macmillan Publishing Company. New York. 366 p.
Ngangi, E.L.A. 2001. Kajian Intensifikasi dan Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan Belang Propinsi Sulawesi Utara.Thesis. PPS IPB. Bogor, Indonesia.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 247 p.
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/File:Bathynomus_giganteus.jpg&ei=H4gQTJe0F8a3rAfCgry4BA&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=8&ved=0CDkQ7gEwBw&prev=/search%3Fq%3Dbathynomus%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26channel%3Ds%26prmd%3Div
http://maunulisah-agunesu.blogspot.com/2009/04/ekosistem-pantai.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar